Kamis, 02 Februari 2012

Merbabu II

Beberapa hari yang lalu saya bersama beberapa teman jalan-jalan menyusuri salah satu gunung yang cukup terkenal dikalangan pecinta alam Indonesia, yaitu Gunung merbabu. Gunung Merbabu ini adalah gunung bertipe strato, dan terletak diantara kabupaten Magelang dan Boyolali. Saya sendiri sudah pernah mendaki gunung ini sebelumnya, kira-kira dua tahun yg lalu.
Singkat cerita dalam tim pendakian kali ini (red : keren ya nyebutnya tim) terdiri dari 7 orang. Kami memulai pendakian dari base camp Wekas. Pendakian dimulai kira-kira pkul 11.00 WIB, waktu itu cuaca cukup cerah dan bersahabat. Sekitar jam 3 sore, setelah berjalan penuh semangat dan keceriaan tapi dengan napas ngos-ngosan akhirnya sampailah kita di camping ground. Sesuai dengan rencana kami pun mendirikan tenda sebagai tempat beristirahat. Namun hanya sampai sinilah keceriaan pendakian ini berlangsung. Sesaat setelah tenda berhasil didirikan cuaca menjadi sangat tidak bersahabat, badai datang menghantam. Angin kencang dan kabut tidak berhenti menderu, mendesak tenda yang dipancang hingga hampir rubuh. Kami pun terpaksa yang bisa berdiam diri didalam tenda dengan harapan besok badai akan reda dan cuaca memugkinkan untuk melanjutkan pendakian hingga ke puncak impian.
Rencananya pendakian menuju puncak merbabu ini akan kami lanjutkan pada jam 03.00 WIB dini hari. Namun apa daya badai yang menghantam sejak malam tidak berhenti hingga pagi. Kondisi yang agak membahayakan akhirnya membuat kami akhirnya membatalkan rencana ke puncak merbabu dan memutuskan untuk segera turun kembali. Kecewa? pasti karena batalnya impian untuk menjejaki puncak Merbabu, Kenteng Songo yang tersohor. Tapi keselamatan diri tentu lebih penting dari ambisi menjejak ke puncak merbabu untuk kedua kalinya.
jadi, pelajaran ini lah yang saya dapat dan secara langsung saya alami di pendakian kali ini. Kita terkadang terlalu berambisi mewujudkan ambisi dan cita-cita kita hingga hal-hal curang pun kita wajarkan untuk mencapai tujuan demi kebanggaan dan kepuasan diri. Semua kita lakukan demi yang kita inginkan, memaksakan diri hingga kita seringkali lupa membaca pertanda. Tentang membaca pertanda inilah yang saya alami dalam pendakian kemaren, kita semestinya tahu kemampuan diri sehingga seharusnya tahu kapan harus melangkah mundur satu kaki untuk kemudian berlari beberapa langkah kedepan, ini mungkin yang sebenarnya disebut perencanaan dan strategi. Toh pada akhirnya dalam pendakian itu saya memahami mendaki gunung bukan hanya soal sampai ke puncak tapi tentang proses dan perjuangan yang dialami dalam pendakian tersebut. It's a little bit same with life, isn't it?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar