Kamis, 03 Februari 2011

Berparodi Lagi

Saya tertawa-tawa kecil dan sinis sendirian malam ini, agak seperti orang gila memang tapi saya tertawa seperti itu karena ada sebabnya. Hal yang menyebabkan saya tertawa adalah (lagi-lagi) kelakuan dan tindakan para politisi negeri ini. Ya kawan, kelakuan dan tindakan para politisi yang terpotret dalam media massa sungguh menggelikan. Sesaat saya berpikir mungkin kita ini sedang menonton sebuah pertunjukkan, pertunjukkan yang jauh lebih seru dari sebuah opera sabun, jauh lebih dramatis dari sebuah sinetron, dan jauh lebih lucu dari sebuah pentas lawak. Mungkin inilah tontonan paling lengkap yang selama ini dicari-cari, pertunjukkan ini sungguh berisi dan padat ibarat paket all in one. Sungguh menghibur pertunjukkan ini karena dalam ceritanya kita bisa menemukan sebuah ironi ala opera sabun sekaligus dengan ending tragis cerita sinetron yang diselingi guyonan-guyonan sinis nan renyah khas pentas lawak yang menghibur. Begitu lengkapnya pertunjukkan ini sampai saya tidak tahu lagi harus memberi sebutan apa untuk pertunjukkan nan lengkap ini, setelah berpikir saya kemudian memutuskan untuk menyebutnya sebuah komedi. Ya, inilah dia kawan sebuah sajian pertunjukkan elok lagi berkualitas yang niscaya akan senantiasa membuat kita tertawa-tawa kecil agak sinis persis seperti yang saya alami malam ini. Dengan sebuah tepuk tangan yang keras saya menyambut sebuah sajian pertunjukkan “KOMEDI ALA POLITISI”.
Nah, sekarang saya akan menceritakan sedikit gambaran tentang apa sesungguhnya yang saya sebut dengan “komedi ala politisi” ini. Saya ingin mulai dengan sebuah gambaran tentang negeri saya tercinta, Indonesia. Ada sebuah kisah yang sangat lah tepat menurut saya untuk menggambarkan Indonesia. Saya tidak tahu dari mana cerita ini berasal ataupun siapa yang menulis kisah ini pertama kali, saya hanya pernah membaca kisah ini di sebuah media online internet. Dalam kisah ini disebutkan bahwa Tuhan sedang tersenyum karena Ia baru saja usai menciptakan sebuah planet yang bernama Bumi, itulah planet yang kita tinggali sekarang ini. Tuhan kemudian memanggil para malaikat dan mengatakan bahwa Ia baru saja menciptakan sebuah planet bernama bumi yang kelak akan ditinggali manusia. Tuhan kemudian mengatakan pada para malaikat itu bahwa bumi ia ciptakan dengan keseimbangan yang sangat sempurna disetiap sisinya. Bumi belahan utara seperti amerika utara dan eropa utara diciptakan sebagai sebuah tempat yang penuh dengan peluang dan bisa membuat orang yang tinggal disana hidup sejahtera tapi pada saat bersamaan disana diciptakan iklim yang sangat dingin dan ekstrim sehingga tidak mempunyai kekayaan alam yang berlimpah. Kalau bergerak ke arah eropa selatan, disana Ia menciptakan sebuah tempat yang tidak terlalu kaya namun memiliki iklim yang lebih hangat dan bersahabat. Tuhan juga menciptakan dataran es yang sangat dingin namun disaat bersamaan Ia menciptakan gurun yang sangat panas namun kaya akan minyak. Setelah menjelaskan berbagai tempat di bumi sampai lah giliran sebuah kepulauan di ujung timur bumi untuk dijelaskan, ya itulah Indonesia tercinta kita. Tuhan kemudian bercerita pada malaikat bahwa kepulauan itu (Indonesia) memiliki alam yang indah dengan kekayaan alam yang luar biasa berlimpah, lebih banyak dari bagian manapun dibumi. Di sana juga akan diturunkan manusia-manusia yang santun dan ramah penuh senyum dan rasa hormat pada orang lain. Mendengar hal itu malaikat bertanya, kenapa hanya hal-hal bagus dan baik saja yang diciptakan di Indonesia bukankah tadi bumi diciptakan dengan keseimbangan disetiap sisinya. Dan akhirnya sembari tersenyum Tuhan berkata, “tunggu saja sampai Aku menurunkan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka”.
Dan rasanya memang seperti itulah yang terjadi sekarang ini, dan kesadaran akan hal itulah yang membuat saya tertawa-tawa agak sinis seperti orang gila (saya seratus persen waras). Tawa heran dan sinis ini saya tujukan pada mereka para politisi yang menjadi pemimpin negeri ini, untuk mereka para intelektual yang tradisional, untuk mereka orang-orang pintar tapi bodoh yang mati hati nuraninya, dan untuk mereka orang-orang sehat tapi berpura-pura buta, tuli, dan bisu. Ya, untuk mereka para pemimpin yang mementingkan citra, harta, kehormatan, dan kepentingan dibandingkan dengan pengabdian. Kisah-kisah komedi ala politisi yang berkedok pengabdian namun sejatinya hanyalah jual beli kepentingan ini sangatlah gamblang dan jelas terpapar didepan mata kita. Sedikit saja kita mau membuka mata dan akan terlihatlah pertunjukkan para politisi yang senang mempolitisasi berbagai hal demi kepentingan pribadi dan golongan. Rasanya lengkap memang yang terjadi dinegeri ini mulai dari korupsi, suap, mafia, dan kriminalisasi sampai para intelektual gedung kura-kura yang senangnya berdebat kusir tanpa arah. Dari rakyat yang kelaparan, kesulitan karena tidak punya penghasilan sampai pemimpin yang mengeluhkan gajinya karena mungkin masih merasa kurang kaya. Lengkap bukan, sangat menghibur bukan, sekali lagi mereka semua sangat pantas untuk tepuk tangan kita semua.
Oh iya, saya belum menceritakan apa sebenarnya yang memancing keluarnya tawa heran dan sinis dari mulut saya. Jadi, malam ini tanggal 2 februari 2011 saya lagi melihat kelakuan para politisi kita yang sangat sulit dipahami memang, agaknya butuh orang sejenius Enstein untuk memahami kelakuan dan tingkah laku para politisi ini. Kelakuan dan tingkah laku mereka yang sulit dipahami ini muncul dari para politisi senayan yang berkali-kali berkoar akan mendukung pemberantasan korupsi di negeri ini, di satu-satu sisi mereka dengan garang menyatakan akan mengawal penyelesaian kasus century yang memang sudah terkatung-katung cukup lama namun disisi lain mereka justru sibuk berdebat satu sama lain tentang status pimpinan sebuah lembaga anti korupsi yang mereka anggap tidak pantas hadir dalam sidang anggota dewan yang terhormat itu karena masih berstatus tersangka sebuah kasus suap yang juga hingga kini sangat misterius penyelesaiannya. Mengherankan bukan, mereka yang katanya ingin membantu memberantas korupsi justru malah berdebat bahkan akhirnya walk out dari sidang yang mereka buat sendiri yang katanya sebagai salah satu upaya untuk memberantas korupsi. Alih-alih membantu, dengan sibuk berdebat satu sama lain membesar-besarkan masalah yang bukan substansinya mereka justru tidak menyelesaikan apapun, kalau tidak mau disebut mempersulit situasi saja. Ini baru satu contoh saja yang terjadi hari ini kawan, melihat hal itu rasanya pernyataan Gus Dur presiden ke-4 republik ini yang mengatakan bahwa politisi Indonesia itu seperti anak TK rasanya memang benar. Mereka mengatakan ini tapi melakukan itu, mereka ribut berkoar akan kontribusinya besar untuk negeri ini, untuk menyejahterakan rakyat katanya padahal merekalah yang disejahterakan oleh rakyat. Ya seperti anak TK mereka ribut melakukan ini itu yang sebenarnya jauh panggang dari api.
Satu lagi cerita yang menggelikan buat saya adalah ketika presiden republik yang terhormat berkeluh kesah karena gaji tidak naik-naik selama 7 tahun. Entah apa yang ada dikepala pemimpin kita ini, beliau mengatakan hal itu disaat masih ada rakyatnya yang makan gaplek dan ketela rebus. Bayangkan saja kawan negeri ini tidak sedang dijajah, tidak juga sedang berperang tapi rakyatnya masih ada yang mengkonsumsi ketela rebus seperti ketika zaman perang dengan penjajah. Nampaknya gaji sebesar 62 juta plus dana taktis 2 miliar belum cukup bagi beliau, kalo buat saya mungkin bapak presiden kita ini harus ikut salah satu program tv yang bintang tamunya harus menginap dan hidup selama beberapa hari dengan orang-orang yang untuk makan saja susah. Kalau tidak mau, ya janganlah merasa sudah meraih prestasi dan meminta gaji lebih atau meminta lebih dihormati. Karena sejatinya memimpin dan menjadi pemimpin itu bukan lah menjadi tuan yang harus dilayani setiap kemauannya, menjadi pemimpin bukan juga berarti hidup enak di istana negara yang megah. Melainkan harus menjadi pelayan bagi rakyat yang dipimpin, seperti kata Haji Agus Salim memimpin adalah menderita.
Malam saya semakin lengkap ketika kelakuan para politisi pemimpin kita sekarang ini dibandingkan dengan sikap-sikap para politisi negarawan besar dimasa lalu, seperti bung Karno, bung Hatta, bung Sjahrir, dan Haji Agus Salim. Bukan untuk romatisme berlebih tapi rasanya kita dan para politisi pemimpin kita itu perlu untuk melihat lagi teladan dari para pemimpin bangsa itu. Mereka para negarawan itu tidak lah hidup enak seperti politisi yang ada sekarang. Bung Karno, bung Hatta, bung Sjahrir dan Haji Agus salim, mereka semua hidup sangat sederhana bahkan mungkin sama melaratnya dengan kebanyakan rakyat yang mereka pimpin. Kebanyakan dari kita tidak tahu bahwa ternyata bung Karno itu pernah berhutang 1800 gulden pada negara hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya atau seorang Haji Agus Salim yang tinggal bersama keluarga besarnya (8 anak) di sebuah rumah yang hanya punya satu kamar tidur. Atau Bung Sjahrir mantan perdana menteri yang tidak punya rumah setelah masa jabatannya habis (bisakah kita bayangkan seorang perdana menteri tidak punya rumah), orang yang sama bahkan kemudian dipenjarakan walaupun kemudian pulang jasadnya sebagai pahlawan. Atau bung Hatta wakil presiden pertama republik ini yang menolak semua tawaran untuk hidup enak dan memilih hidup sederhana untuk melayani rakyat dan memperjuangkan negeri yang dicintainya. Bisakah kita bayangkan semua kesederhanaan mereka itu padahal mereka adalah pembesar negeri ini, kalau dengan konteks sekarang mereka dengan mudah bisa mencari kekayaan dari negeri ini kalau mereka mau. Mereka juga tidak pernah minta dihargai oleh rakyatnya, tapi mereka adalah negarawan yang dikagumi dan dicintai secara sukarela oleh rakyatnya. Panggilan “bung” yang melekat pada diri mereka menandakan hal tersebut, panggilan yang dilandasi rasa hormat terhadap sikap mereka yang begitu mencintai negeri ini dan negeri ini pun mencintai mereka. Sedangkan hari ini rasanya sulit bagi saya yang masih muda ini untuk menemukan satu saja politisi yang seperti bung Karno, bung Hatta, bung Sjahrir, atau Haji Agus Salim. Keadaan sekarang dengan politisi kita yang bagaikan negosiator, yang hobinya bernegosiasi jual beli kasus membuat kita seringkali terheran-heran sulit memahami jalan pikiran mereka.
Hari-hari ini kita disaji sebuah komedi. Ya, itulah komedi ala politisi yang membuat rakyat sebagian tertawa kecil nan sinis dan sebagian lagi pening melihat komedi ini. Begitu rumitnya lakon komedi ala politisi ini membuat kita merindukan sosok negarawan yang mengerti arti pengabdian. Kita merindukan sosok seperti bung Karno, bung Hatta, bung Sjahrir, atau Haji Agus Salim yang dicintai dan dihormati rakyatnya karena mereka memimpin dengan pengabdian bukan dengan kepentingan. Kalo bagi saya, seandainya bisa biarlah bung Karno, atau bung Hatta, atau bung Sjahrir atau Haji Agus Salim memimpin negeri ini sekali lagi. Ya, kita merindukan pemimpin seperti mereka yang sekarang tak kunjung datang. Seperti kata Chairul Anwar dalam akhir salah satu sajaknya, “akankah masih ada Bung…yang lain”. Ya, akankah masih ada Bung yang lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar