Senin, 31 Mei 2010

Listen : Is a Difficult Lesson.

Ada seorang wanita tua yang menurut saya sangat berpengaruh pada pikiran saya saat ini. Wanita tua telah mengajarkan pada saya hidup itu butuh banyak pengorbanan, seperti halnya beliau yang sudah berkorban berpuluh-puluh tahun melewati berbagai masalah dalam hidupnya. Beliau mengajarkan bahwa mata itu sangat penting bagi mu karena dengan mata kita bisa melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tapi jangan hanya tergantung pada mata karena itu bisa membutakan. Dengarlah, dengarlah apa kata hati mu dan cobalah mendengarkan alam disekitarmu dengan begitu kamu bisa tahu banyak hal. Pelajaran itu lah yang tergambar jelas ingin beliau berikan kepada saya lewat tingkah laku dan perkataan beliau, walaupun carany agak sedikit kerasa menurut saya.

Beliau orang yang sangat sabar, beliau mampu menerima semua hal yang diberikan oleh yang maha kuasa dengan ikhlas dan lapang hati. Keikhlasan dan kelapangan hati beliau tercermin dari wajahnya yang seakan menyebarkan kedamaian bagi orang-orang disekitarnya, bukan hanya bagi saya tapi juga bagi orang-orang yang bahkan asing dengan beliau. Orang-orang yang tidak pernah kenal dengan beliau bahkan bisa menceritakan semua hal tentang kehidupan mereka bahkan yang paling pribadi sekalipun, peristiwa seperti itu sering saya hadapi ketika dulu saya masih sering berpergian dengan beliau. Seperti suatu ketika ada seorang penjual baju bekas yang bercerita tentang suaminya yang kawin lagi padahal saat itu beliau hanya hendak membeli baju bekas ditoko tersebut, jadilah kami harus menunggu sampai sore hingga si penjual baju bekas tadi puas dan berhenti bercerita. Memori lainnya adalah ketika ada seorang perempuan dengan anak bayi digendongan menangis ketika bertemu beliau padahal saat itu merekan hanya bertemu didalam angkot. Saat itu beliau menatap perempuan itu entah apa yang menarik dari perempuan itu bagi beliau. Tapi sesaat kemudian ketika mereka berdua bertemu pandang perempuan itu menangis, air matanya meleleh seakan-akan mencermin beban berat yang sekarang bergelayutan dipundaknya. Mungkin perempuan itu ingin berkata “ kami orang miskin, seorang perempuan yang ditingggal pergi oleh suami dan sekarang harus mengasuh empat orang anak kami”, atau “saya tidak kuat harus menanggung beban dengan anak ini, yang tidak tahu bapaknya siapa”. Entahlah saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi perempuan tersebut masih terus menangis dan masih menatap beliau namun perlahan perempuan itu tertunduk dan menangis makin keras ketika beliau mengusap dahi bayi yang berada dalam pelukan perempuan itu. Kami yang melihat pun kebingungan apa yang sebenarnya sedang terjadi tapi saya melihat beliau seperti mengerti dengan jelas apa yang menjadi beban bagi perempuan itu, beliau seperti bisa membaca pikiran perempuan itu. Entah bagaimana lagi harus mengungkapkannya.

Saya sendiri sekarang belajar psikologi, sebuah ilmu tentang jiwa manusia disebuah universitas swasta terkemukan di Indonesia. Sebagai seorang mahasiswa saya mempelajari berbagai konsep tentang bagamana manusia yang ideal seharusnya. Saya ingat salah seorang dosen mengatakan bahwa sebagai psikolog satu hal yang sangat penting adalah mendengarkan. Dan tanpa disadari saya sudah mendapatkan pelajaran itu dari beliau. Pengalaman hidup bertahun-tahun bersama beliau selama itu pula saya mendapatkan pelajaran bagaimana mendengarkan yang baik, sebuah pelajaran yang tidak akan kita dapatkan dibangku sekolah walaupun kita mendengakan sepanjang hari selama sekolah. Hanya saja butuh sedikit renungan dan kemauan untuk menyadari pelajaran itu dan butuh lebih banyak untuk mengaplikasikannya. Well, pelajaran itu hanyalah salah satu dari banyak pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan dari beliau. Saya hanya ingin berterimakasih atas apa yang sudah beliau berikan, yang sudah beliau korbankan bagi saya. Sekarang sudah saatnya mungkin saya mulai berkorban beberapa hal untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Sudah saatnya saya mulai belajar “mendengarkan”, peka terhadap suara-suara disekitar saya. Suara-suara hidup yang selalu minta untuk didengarkan dan diperhatikan. “mendengarkan” menurut beliau adalah menggunakan hati dan pikiran setiap bertindak , ketika kita menggunakan panca indera kita. Dengan begitu mungkin kita akan bisa bersyukur lebih ikhlas.

Hear is easy but Listen is difficult and complex process.

We Don't Know

Hampir seminggu yang lalu saya melakukan satu perjalanan. Perjalanan yang sangat menguras tenaga fisik. Perjalanan selama satu hari satu malam berjalan melewati jarak sekitar 3000-an mdpl sambil memikul beban dan melawan lelah cuma demi satu hal yaitu, kepuasan dan harga diri. Mungkin orang lain yang tidak sepaham dengan saya akan mengatakan kalau apa yang saya lakukan adalah pekerjaan nekat yang menantang bahaya atau malah mengatai saya kurang kerjaan. Hanya demi kepuasaan dan harga diri saya rela mendekatkan diri dengan bahaya dan memaksa tubuh bekerja sampai batas kemampuannya.

Kalian tahu saya tidak menyalahkan orang-orang yang berpikiran begitu. Mereka benar kenapa saya begitu bodoh memaksa diri saya keluar dari situasi yang nyaman kemudian menghantam tubuh saya dengan aktifitas yang tidak biasa. Mereka sepenuhnya benar. Kita manusia adalah makhluk yang selalu mengejar rasa aman saya tahu itu karena itu lah yang saya pelajari sehari-hari. Saya pun berpikiran seperti itu. Tapi apakah mereka yang punya sudut pandang seperti itu pernah berpikir bahwa manusia seperti saya, seperti anda, dan seperti mereka hanyalah satu bagian kecil dari dunia yang tak terhingga luasnya ini. Pernahkah terpikirkan oleh kita semua bahwa kenyamanan yang kita tinggali atau yang menjadi sahabat akrab kita sekarang ini perlahan-lahan bisa membunuh kita. Membunuh pikiran kita, hingga kita menjadi manusia yang berpikir hanya berdasarkan subjektivitas, hanya berdasarkan apa yang menurut kita benar, menjadi manusia yang hanya menilai segala sesuatu disekitar kita hanya berdasarkan perspektif kita sendiri, perspektif dangkal yang berlandaskan pada "SAYA-SENTRIS".

Perjalanan yang saya lakukan penuh dengan kejutan bagi saya. Perjalanan ini lah yang telah membunuh kenyamanan yang saya miliki. Dengan menyakitkan telah menusuk diri saya yang selama ini berpegang pada pola pikir "SAYA-SENTRIS" tadi. Saya, anda, dan mereka ternyata sudah terlalu mengagungkan kenyamanan sehingga kita takut untuk keluar dari zona yang nyaman tersebut. Kemudian kita mengatakan kalu semua yang membuat kita tidak nyaman itu sebagai sesuatu yang salah padahal ketika kita menganggap sesuatu salah itu hanyalah bentuk dari ketakutan kita bahwa sesuatu yang salah itu akan mengganggu kenyamanan kita sendiri. Saya, anda, dan mereka takut untuk mengakui bahwa tidak ada yang salah, yang kita anggap salah itu hanyalah sesuatu yang berbeda. Kita seperti sekelompok manusia yang terperangkap dalam sebuah goa gelap, dimana goa itu yang hanya punya satu sumber api sebagai penerangnya yang bahkan tidak sanggup menerangi seluruh goa itu sehingga sekelompok orang tersebut tidak bisa melihat sekelilingnya bahkan untuk melihat bayangan sendiri saja susah. Dan ketika ada seorang anak dari kelompok tersebut yang ingin keluar dari goa tersebut maka yang lain langsung meniliai dan mencemooh anak itu sebagai orang gila. Kita seperti sekelompok orang tersebut, kita menganggap kita mengenal diri sendiri dan kita menganggap kita tahu tentang hal yang orang lain tidak tahu dan kita merasa nyaman bahkan jumawa akan keadaan yang seperti itu, maka ketika ada yang berbeda dari pemikiran kita kita seenaknya menilai itu adalah salah atau kita akan menyalahkan orang lain karena berbeda dari pikiran kita dari apa yang kita tahu.

Yang kita tahu adalah kita tahu segalanya tentang dunia dan dunia itu harus menyesuaikan diri dengan apa yang kita inginkan. Tapi bagaimana kalau sebenarnya kita itu tidak tahu apa-apa, kita hanya sok tahu berlagak seakan-akan kita tahu. Ketika akhir perjalanan itu saya jatuh kedalam lubang yang sangat dalam dan sangat mengerikan. Menyadari bahwa saya ternyata hanyalah satu bagian kecil dari dunia. menyadari bahwa saya sebenarnya adalah manusia yang sudah terlalu akrab dengan kenyamanan sehingga saya lupa akan keberadaan subjek lain disekitar saya, menyadari bahwa saya adalah manusia "saya-sentris" yang seenaknya menilai apa yang ada disekeliling saya berdasarkan perspektif dangkal subjektivitas seenaknya menilai saya benar dan orang lain salah. Bagian paling menyakitkan dari jatuh kedalam lubang itu adalah menyadari bahwa sebenarnya saya adalah manusia bodoh yang tidak tahu apa-apa. Saya terlalu menganggap bahwa saya tahu banyak hal dan terlalu berharap untuk dihargai karena apa yang saya tahu, padahal saya sebenarnya adalah orang yang tidak tahu bahwa saya tidak tahu. Berdiri di satu titik kecil dan melihat betapa lebarnya dunia ini telah meruntuhkan diri saya yang sombong, dinding kesombongan itu runtuh hanya karena satu fakta bahwa apa yang saya tahu adalah apa yang saya tidak tahu dan saya adalah orang yang tidak tahu.